Dengan Puisi Aku
(1965)
(1965)
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku berdoa
perkenankanlah kiranya
keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku berdoa
perkenankanlah kiranya
Itulah salah satu puisi karya Taufiq Ismail yang saya baca di dinding rumah puisi beliau pada minggu 9 September 2012 kemarin. Hari libur yang sudah saya rencanakan sejak lama untuk bisa berkunjung menikmati karya-karya seorang sastrawan ternama di negeri ini. Saya bersama suami dan anak-anak saya jalan-jalan ke rumah puisi Taufiq Ismail di daerah Padang Panjang.
Sebagai orang Sumatera Barat saya sangat terlambat tahu keberadaan Rumah Puisi. Karena ternyata ini sudah ada sejak lama. Saya baru melihat sekitar sebulan lalu saat menuju kota Padang. Baru kemarin akhirnya saya menyempatkan diri datang. Hujan deras semakin menambah suasana dingin di kota Padang Panjang. Namun tekad saya untuk tetap ke sana tidak berkurang.
Memasuki halaman yang penuh dengan bunga-bunga dan tanaman hias. Beberapa buah gedung yang tertata rapi di sana, semua tampak memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pemandangan indah, sejuk dan asri, suasana ini tentu akan sangat member inspirasi bagi para penulis untuk bisa menuliskan karya-karya mereka.
Selain tanaman hias yang memanjakan mata. Saya terkesima dengen jejeran pusi-puisi yang di pajang di halaman. Saya tak bisa menikmati terlalu lama suasana indah di halam Rumah Puisi itu karena hujan yang semakijn deras. Maka sayapun masuk ke dalam Rumah Puisi, Di sana saya di sambut oleh penjaga dan dipersilakan mengisi buku tamu.
Kesan pertama masuk saya menyaksikan banyak poster-poster tersusun rapi di sekeliling ruangan. Ternyata semua poster tersebut adalah puisi-puisi yang sengaja di jejar di sana. Rumah berlantai dua dengan tangga yang tidak terlalu tinggi begitu nyaman saat berada di dalamnya. Sebuah ruang belajar, untuk para siswa atau pengunjung yang datang ingin belajar tentang sastra lengkap dengan kata-kata mutiara dari berbagai tokoh tentang puisi, menulis ataupun sastra.
Saya yakin ruangan itu merupakan arena belajar karena Rumah puisi gagasan penyair Taufiq Ismail dan isterinya Ati, tumbuh dari pengalaman kolektifnya bersama tim redaktur Horison dan sahabat-sahabat sastrawan se Indonesia dalam 10 program gerakan membawa sastra ke sekolah, sejak 1998 hingga 2008.
Kemudian saya naik ke lantai dua, saya semakin terkagum-kagum. Karya-karya Taufiq Ismail terpampang dengan indah di dinding ruangan. Ada puisi-puisi beliau yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Dan ada yang di tulis dalam bahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesi.
Tidak hanya kumpulan puisi-puisi sang pujangga. RUMAH PUISI ini juga berfungsi sebagai Perpustakaan, tempat pelatihan guru Bahasa dan Sastra. Sanggar siswa membaca buku dan berlatih menulis. Tempat sastra Indonesia dan Minangkabau diapresiasikan dan tempat para Sastrawan berinteraksi.
Kesan itu semakin jelas terlihat karena di lantai dua itu terdapat 4 buah lemari buku yang di dalamnya terpajang buku-buku, bukan hanya buku sastra tetapi berbagai jenis buku. Pengunjung dimanjakan untuk membaca buku-buku tersebut dengan duduk di kursi tamu 3 set kursi tamu disediakan di sana. Dan kenyamanan untuk menikmati buku-buku di Rumah Puisi juga semakin dirasakan, karena di sana juga di gelar karpet bludru dengan dua buah bantal besar. Saya membayangkan kita sedang berselonjor kaki membaca buku-buku di pustaka Rumah Puisi dan menikmati indahnya aksara buah pena dingin sang Penyair Taufiq Ismail ini.
Taufiq Ismail, lahir di Bukittinggi Sumatera Barat, pada 25 Juni 1935. Seorang penyair dan sastrawan Indonesia yang sampai hari ini masih terus berkarya. Beragam penghargaan telah beliau dapatkan. Ide mendirikan Rumah Puisi menjadi sebuah inspirasi bagi generasi muda agar gemar menulis dan membaca. Mencintai sastra dan budaya Indonesia.
Mengagumi karya-karya Taufiq Ismail, semakin member semangat pada saya untuk bisa terus menulis. Semoga semnagat itu terjaga selamanya. Amiin.
Selamat pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar